AWAL TERBENTUKNYA AKRONIM BIPA:
Catatan Felicia Nuradi Utorodewo
Pak Nyoman, ini jawaban saya. Maaf agak lama karena ternyata bnayak dokumen yang tidak ada atau
masih harus dicari. Agar tidak memakan waktu yang lama saya kirimkan saja jawaban ini sebagai draf.
Tolong diperhatikan bahwa uraian ini saya tulis dari sudut pandang saya, dalam arti masih dapat
disempurnakan oleh teman-teman lain, seperti dari para pengurus APPBIPA, Badan Bahasa, Universitas
Atmajaya, Universitas Gajah Mada, Universitas Negeri Malang, dan sebagainya. Uraian ini hanya satu
serpihan dari perkembangan BIPA dan kebipaan.
BIPA berawal ketika UI pindah ke Depok pada tahun 1984. Sebelumnya, di UI belum
ada lembaga atau pusat yang menangani pengajaran Bahasa Indonesia secara khusus. Kepercayaan
diberikan kepada FSUI (ketika itu) pada tahun 1966 untuk menangani diplomat dari luar negeri.
Sifatnya saat itu sangat perorangan. Namun, menurut Prof. Anton Moeliono, pernah juga, kira-kira
tahun 1968, ada rombongan dari Korea atau Jepang (saya lupa tepatnya). Rombongan yang terdiri
atas 16 orang itu diserahkan oleh rektorat untuk ditangani oleh FSUI. Pada masa itu, dibentuklah
BUMA (Biro Urusan Mahasiswa Asing) FSUI. Saat itu, kelas tentu belum terstruktur. Salah seorang
Ketua BUMA adalah Dr. Basuki Suhardi. Penanganannya sporadis dan privat. Lebih sering
dilaksanakan di luar kampus.
Pada saat UI pindah ke Depok, para dosen yang mengajar bahasa Indonesia untuk orang asing mulai
mengalami kesulitan karena masalah jarak. Kampus berlokasi di Depok, sementara orang asing yang
belajar Bahasa Indonesia berlokasi di Jakarta Pusat. Seringkali, mereka terpaksa tidak ke kampus
karena melayani para diplomat atau instansi tertentu. Selain itu, ada kecsnderungan bahwa hanya
dosen tertentu yang mengajar. Dengan sendirinya, dosen-dosen tersebut jarang hadir di kampus.
Akibatnya, dekan FSUI—pada masa itu ialah Dr. Nurhadi Magetsari—mengambil keputusan untuk
menarik pengajaran bahasa Indonesia itu ke kampus. Para guru besar, dengan dikepalai oleh Prof.
Dr. Harimurti Kridalaksana, merancang perubahan itu, antara lain, ialah Prof. Dr. Benny H. Hoed,
Prof. Dr. Nurhadi, Prof. Dr. Titi Akhadiati. Mereka dibantu oleh pakar dari luar fakultas, antara lain,
Dr. Hasan Alwi, Dr. Asim Gunawan, Bapak Drs. Djoko Kentjono, Dr. Basuki Suhardi, Dr. Soenjono
Dardjowidjojo dan Dr. Bambang Kaswanti. Dosen-dosen anggota, antara lain, Dr. Rahayu Hidayat,
Dr. Lucy Montolalu, Dr. Risnowati.
Penggodokan dari privat menjadi klasikal memakan waktu yang lama. Sejak tahun 1984, secara
bertahap perubahan diawali dari penyusunan kurikulum mengubah gaya privat menjadi pengajaran
dalam bentuk kelas. Buku-buku yang digunakan adalah buku Johanni Jones (harus cari judul),
Soenjono Dardjowidjojo, Indonesia Sentence Pattern (tahun harus cek), dan John Anderson (judul
dan tahun saya lupa dari USA). Setelah itu, ada pelatihan (TOT) intern bagi dosen-dosen FIBUI untuk
bersiap menjadi pengajar bahasa Indonesia. Selain itu, dilaksanakan lokakarya untuk penyusunan
materi ajar. Para pelatih dan fasilitator ialah para perancang tersebut di atas. Sementara, saya dan
teman-teman dosen lainnya menjadi peserta pelatihan. Uji coba terjadi terus menerus. Peserta
program BUMA dicari dari perusahaan asing Jepang, Korea, kedutaan besar negara asing, institusi
pengajaran Bahasa asing, seperti Erasmus Huis, Göethe Institute, Alliance Française, Japan
Foundation, sekolah-sekolah asing di Indonesia.
Nama BIPA mulai juga digodog melalui diskusi terpumpun. Mula-mula ada macam-macam, fokusnya
agar sepadan dengan foreign language teaching. Lalu, menjadi Indonesian as a foreign Language
(IFL). Lalu, Teaching Indonesian as a foreign Language (TIFL). Namun, ada pakar yang tidak setuju
dengan penggunaan bahasa Inggris. Alasannya, khalayak sasaran pengajaran ini tidak semua
berbahasa Inggris. Jadilah, dicari kembali berbagai kemungkinan. Antara lain, muncul Bahasa
Indonesia sebagai Bahasa Asing (BIBA), Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Asing (BIMA),
Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing (PBIBA), Pengajaran Bahasa Indonesia untuk
Orang Asing (PBIOA).Berakhir dengan Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Mengapa BIPA
yang akhirnya terpilih saya sudah lupa prosesnya. Waktu itu terjadi perdebatan seru juga antara
penggunaan istilah orang asing atau penutur asing. Namun akhirnya, pada tahun 1991,
ditetapkanlah nama BIPA-FSUI bagi program kami itu (saya kehilangan SK-nya). Saya menjadi
Koordinator pertama BIPA-FSUI yang terstruktur. Sebelumnya, koordinasi masih bersifat ad-hoc.
(saya harus cari kembali SK-nya).
Pada tahun 1993, dalam Kongres Bahasa Indonesia VI, kegiatan pengajaran Bahasa Indnesia sebagai
bahasa asing diangkat dan dibahas. Sebenarnya, keberadaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa asing
sudah dibahas dalam Kongres Bahasa Indonesia IV (1983) dan V (1988). Akan tetapi, belum menjadi
fokus utama. Dalam keputusan KBI VI tercantum sebagai berikut.
5. Perkembangan Bahasa Indonesia di Luar Negeri
1) Perkembangan Pengkajian Bahasa Indonesia di Luar negeri
2) Perkembangan Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing
3) Peningkatan Peran Pengajar Pengajar Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing
4) Unsur Budaya dala Materi Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing
5) Perkembangan Bahasa Serumpun
Namun, BIPA sebagai nama dianggap wewenang dari para penyelenggara pengajaran BIPA. Selain
itu masih ada dualisme, antara BIBA dan BIPA.
Tahun 1995, atas inisiatif Dekan FSUI ketika itu, Dr. Ida Sundari Husein, diadakanlah untuk pertama
kalinya Kongres Internasional Pengajaran BIPA. Dasarnya adalah untuk menindaklanjuti keputusan
kongres. Teman-teman dari berbagai universitas diundang. Rasanya, saya bertemu Pak Nyoman dan
Pak Widodo dalam kegiatan itu (tp rasanya kita sudah bertemu di KBI V, ya, Pak?). Pada saat itu,
sudah dirasakan potensi BIPA sebagai kekuatan diplomatik dan ekonomis Indonesia. Selain itu,
sudah banyak teman dari perguruan tinggi di Indonesia yang sudah mulai mengembangkan BIPA
secara mandiri. Salah satu keputusan saat itu adalah meresmikan BIPA sebagai istilah resmi bidang
penerapan linguistik bidang pengajaran bahasa. Selain itu, adanya keyakinan bahwa pengajaran
BIPA harus diteliti dan dikembangkan berbeda dari pengajaran bahasa Indonesia di sekolah di
Indonesia. Prinsipnya membedakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa asing (foreign language) dan
bukan bahasa kedua (second language).
Rasanya, suasana kebatinan tidak terlalu bergolak. Semua yang hadir lebih merasa lega karena BIPA
yang awalnya sangat scattered, terpencar, mulai kelihatan terpadu. Pak Nyoman hadir, bukan?
Persahabatan kita dengan Pak Widodo berawal dari sana. Namun, memang masih ada masukan
berkaitan dengan akronim BIPA atau BIBA. Pada akhirnya, sidang pleno memutuskan untuk
menggunakan BIPA sebagai istilah resmi dalam penyebarluasan bahasa Indonesia secara
internasional. (permasalahannya ialah saya tidak memiliki hasil dari kongres BIPA I itu).
Kongres itu tidak pernah dilanjutkan (tidak ada kongres BIPA lanjutan). Akan tetapi, teman-teman
dari IKIP Bandung (sekarang UPI) mengadakan Konferensi Internasional Pengajaran BIPA.
Begitu, Pak Nyoman, uraian saya atau, mungkin, cerita saya. Saya merasa mulai berteman dengan
Bapak pada waktu KBI yang diselenggarakan di Hotel Indonesia. Kita seruangan dalam siding tentang
pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa asing itu. Setelah itu, kita sering bertemu dan cock
karena renjana kita yang sama. Setelah itu, baru kita bertemu Pak Widodo, ya? Saya lupa di mana
persisnya. Apakah di Wisma Tanah Air? Lalu, kita bertiga selalu muncul di mana-mana jika berkaitan
dengan kebipaan.